Note: Tulisan ini dimuat di Harian Republika kolom Resonasi, dalam Lima Bagian.
Oleh: Professor Ahmad Syafii Maarif
Bila tidak ada aral
melintang, Muhammadiyah akan menyelenggarakan muktamarnya yang ke-47 di Makassar
pada 3-7 Agustus 2015. Berbagai persiapan telah dilakukan sehingga diharapkan
muktamar akan berjalan lancar dan produktif, sekalipun bendahara panitia Ir H
Dasron Hamid MSc telah wafat pada 24 April 2015 di RS PKU Gamping, Yogyakarta.
Inna lillahi wa inna ilaihi raji'un, semoga sahabat kita ini mendapatkan husnu al-khatimah di akhir hayatnya, amin. Kematian Dasron memang sebuah kehilangan besar bagi Muhammadiyah, tetapi agama mengajarkan agar orang tidak boleh larut dalam suasana duka, betapa pun berat dirasakan.
Muhammadiyah dibentuk pada 8 Dzulhijah 1330/18 November 1912 di Kampung Kauman, Yogyakarta. Dalam usianya yang sudah melampaui satu abad dengan segala kebesaran dan kelemahannya, “Resonansi” ini ingin berbagi dengan para pembaca untuk melihat dengan tenang, tetapi kritikal tentang perjalanan gerakan Islam modern ini dalam perspektif kebangsaan dan peran apa yang mungkin dimainkan Muhammadiyah di dalamnya.
Di ranah kerja-kerja sosial-kemanusiaan dan pendidikan, Muhammadiyah terus saja berekspansi dalam bentuk amal-usahanya tanpa kenal lelah. Ketika saya ceritakan kepada kaum intelektual Hindu di New Delhi beberapa tahun yang lalu tentang kiprah Muhammadiyah ini, mereka hanya terkagum-kagum mendengarnya mengapa bisa seperti itu. Saya tidak punya catatan lengkap sudah berapa pula jumlah tesis dan disertasi yang ditulis para sarjana Indonesia dan sarjana asing tentang gerakan Islam ini.
Pada 18 November 2015 ini, genaplah usia Muhammadiyah menjadi 103 tahun. Namun, jika kalender Hijriyah yang dipakai patokan, maka usia gerakan Islam ini sudah memasuki angka 106 tahun (sekarang 1436 H).
Dalam AD (anggaran dasar) pertama tahun 1912, artikel 2a, maksud Muhammadiyah didirikan dirumuskan dengan sederhana, sesuai dengan kondisi saat itu, yaitu "Menyebarkan pengajaran Igama Kanjeng Nabi Muhammad sallallahu 'alaihi wassalam kepada penduduk Bumiputera di dalam residensi Yogyakarta”. Radius yang hendak dijangkau oleh gerakan ini belum melebihi wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta sekarang ini.
Dua tahun kemudian,
dalam AD 1914 artikel 2a, rumusan tujuan mengalami perubahan yang cukup berarti
menjadi “Memajukan dan menggembirakan pengajaran dan pelajaran Igama Islam di
Hindia Nederland”, sebuah langkah revolusioner, sekalipun saat itu format
Indonesia merdeka belum terbayangkan.
Bahkan untuk membangun sebuah organisasi modern, Muhammadiyah pada awal dasawarsa kedua abad ke-20 banyak dibantu oleh BU (Budi Utomo) yang memang dipimpin oleh mereka yang telah mendapat pendidikan Barat. Pada tahun 1909, Ahmad Dahlan bahkan telah menjadi anggota BU itu bersama beberapa pengikutnya. Ahmad Dahlan juga menjadi pemimpin Sarekat Islam Yogyakarta di awal berdirinya.
Dalam pergaulan, Dahlan terkesan sangat longgar, tidak mau dibatasi oleh sekat-sekat sosial, agama, dan bahkan oleh sekat-sekat politik. Demikianlah, sekitar tahun 1915, di kampung Kauman Yogyakarta, Dahlan pernah menerima tamu tokoh-tokoh ISDV (Indische Sociaal-Democratische Vereniging/Himpunan Sosial Demokratik Hidia) yang beraliran kiri, dipimpin oleh HJFM Sneevliet, penyebar marxisme di Hindia Belanda, bersama Adolf Baars, Semaun, dan Darsono.
Baars adalah editor Het
Vrije Woord (Dunia Bebas), media ISDV, mulai terbit bulan Oktober 1915.
Kedatangan tokoh-tokoh ini dari Semarang adalah untuk menjelaskan tujuan ISDV
itu kepada pimpinan Muhammadiyah.
Bagi
Dahlan, menerima tamu-tamu kiri terkesan biasa saja, tanpa beban apa-apa,
sekalipun kemudian ada beberapa priyayi anggota Muhammadiyah yang mengundurkan
diri sebagai protes atas kedatangan mereka itu. Tidak kurang dari dua setengah
jam Semaun dan Darsono menjelaskan faham ISDV itu kepada pimpinan Muhammadiyah.
Saya belum menemukan sumber apakah dalam pertemuan ada dialog antara kedua
belah pihak. Tetapi yang pasti, bagi ISDV Muhammadiyah perlu didekati,
sebagaimana yang dilakukannya terhadap Sarekat Islam. Bedanya, beberapa tokoh
Sarekat Islam Semarang terpikat dengan marxisme, sementara Muhammadiyah tidak
berganjak dalam pendiriannya.
Sikap terbuka ini terus berlanjut sampai hari ini, sekalipun bisa saja terdapat sekelompok kecil warga Muhammadiyah yang tidak nyaman dengan suasana ini, mungkin karena khawatir terseret arus. Hanya saja saya belum mendapat informasi tentang adanya warga Muhammadiyah masa sekarang yang meninggalkan organisasi karena perbedaan pandangan, sebagaimana priyayi Kauman pada tahun 1915 itu. Dalam Muhammadiyah, perbedaan sikap terhadap politik semasa tidaklah membawa perpecahan di ranah teologis.
Memang ada saja orang yang takut terseret arus. Tetapi hendaklah difahami bahwa dari si penakut tidak akan muncul perubahan apa pun, apalagi yang mendasar, tentu dengan pertimbangan menjaga status quo dan kenyamanan hidup. Dahlan adalah penentang arus dengan keberanian teologis dan kulturalnya yang luar biasa, bila diukur dengan zamannya, saat perubahan itu dilancarkan. Karena memang bukan berlatar belakang pendidikan Barat, maka demi kemajuan Islam dan umatnya, Dahlan mau belajar kepada mereka yang telah mengenyam sistem pendidikan modern itu. Dengan cara itu, Muhammadiyah berhasil menggumulkan dirinya dengan realitas zaman yang berubah dengan cepat dan berupaya mengawal perubahan itu sambil mempertajam visi Islamnya yang berkemajuan.
Dalam kaitan ini, ada baiknya dikutip pendapat fisikawan ateis yang termasyhur, Stephan W. Hawking yang memberi definisi tentang intelijensi (kecerdasan): “Intelligence is the ability to adapt to change” (Kecerdasan adalah kemampuan menyesuaikan [diri] kepada perubahan). Dahlan jelas memiliki kriteria kecerdasan untuk perubahan itu. Tetapi berbeda dengan Hawking yang di akhir hidupnya merasa tidak lagi memerlukan Tuhan, Dahlan dengan Muhammadiyah ingin menancapkan nilai-nilai ketuhanan itu dalam jiwa manusia agar mereka tidak kehilangan jangkar spiritual dalam menghadapi kedupan duniawi yang sarat godaan dan tantangan.
Demikianlah, dengan bergulirnya zaman Muhammadiyah 27 tahun sepeninggal Dahlan di alam kemerdekaan, merasa perlu mengubah tujuan organisasi. Perubahan AD yang fundamental tentang tujuan terjadi pada Muhammadiyah ke-31 (21-26 Desember 1950) di Yogyakarta. Dalam Fasal 2, perumusan tujuan itu berbunyi: “Maksud Persyarikatan ini akan menegakkan dan menjungjung tinggi agama Islam sehingga dapat mewujudkan masyarakat Islam yang sebenar-benarnya.” Dalam suasana kemerdekaan bangsa, gagasan bagi tegaknya sebuah masyarakat Islam di Indonesia dinilai menjadi mungkin. Caranya terbaca dalam Fasal 3g: “Berusaha dengan segala kebijaksanaan supaya kehendak dan peraturan Islam berlaku dalam masyarakat.” Tetapi bagaimana gambaran yang relatif utuh tentang corak masyarakat Islam tidak dijelaskan dengan memuaskan. Bagi saya, masyarakat Islam tidak lain dari pada ‘masyarakat adil-makmur’ di bawah pengawasan wahyu.
Era tahun 1950-an adalah tahun pertarungan ideologi politik untuk mencari dan menetapkan Dasar Negara bagi Indonesia merdeka. Warga Muhammadiyah terlibat dalam suasana pertarungan ini. Bulan September 1955 diselenggarakan Pemilu I untuk DPR dan bulan Desember 1955 untuk Majelis Konstituante yang bertugas merumuskan UUD baru bagi Indonesia. Meskipun majelis ini telah bersidang selama tiga tahun dan telah merampungkan sekitar 90% tugas konstitusionalnya, masih ada 10% yang tersisa: pilihan tentang Dasar Negara antara Pancasila dan Islam. Perdebatan tentang masalah krusial ini keras dan panas, tetapi di ujungnya tanpa pemenang.
Kegagalan
memperjuangkan Dasar Islam dalam Majelis Konstituante rupanya punya imbas
langsung dalam perumusan AD Muhammadiyah sebagai hasil Muktamar Muhammadiyah
ke-34 (Nop. 1959) di Jogjakarta. Selama 47 tahun Muhammadiyah tidak pernah
mencantumkan asas atau dasar dalam AD-nya, sekarang pada Fasal 2, asas itu
dinyatakan: “Persyarikatan berasaskan Islam.” Rumusan maksud dan tujuan tidak
mengalami perubahan sampai tahun 1985, saat asas Pancasila wajib dicantumkan.
Berhadapan dengan kondisi politik riil di Indonesia, dalam Muktamar
Muhammadiyah ke-41 (Desember 1985) di Surakarta, asas dalam Fasal 2 AD diubah
menjadi: “Persyarikatan berasaskan Pancasila.”
Tetapi
untuk mengamankan identitas organisasi dalam situasi politik nasional yang
tidak bebas itu, maka dalam muktamar di atas, AD dalam Fasal 1:1 dirumuskan
bahwa: “Persyarikatan ini bernama MUHAMMADIYAH, adalah gerakan Islam dan Dakwah
Amar Makruf Nahi Mungkar, beraqidah Islam dan bersumber pada Al-Qur’an dan
Sunnah.” Inilah siasat Muhammadiyah untuk menyelamatkan asas Islam berhadapan
dengan tembok kekuasaan yang tidak toleran. Padahal, seperti dikatakan di atas,
sejak era Ahmad Dahlan sampai 47 tahun berikutnya, pencantuman asas dalam AD
Muhammadiyah tidak pernah terfikirkan.
Boleh
jadi dalam Muktamar Surakarta yang agak panas itu, dokumen AD sejak awal tidak
sempat dikaji, sehingga masalah asas menjadi topik perdebatan serius.
Seolah-olah tanpa asas, keislaman Muhammadiyah tidaklah kokoh. Inilah
akibatnya, jika orang berfikir tidak berdasarkan sejarah. Di era Reformasi
dalam Muktamar Muhammadiyah ke-44 di Jakarta (Juli 2000), asas Islam kembali
dicantumkan, setelah absen sejak 1985. Dalam perjalanan sejarahnya, dengan asas
atau tanpa asas, identitas Muhammadiyah tetap saja tidak berubah sebagai
gerakan Islam berkemajuan par excellence, yang mendidik, menggembirakan, dan
mencerahkan. Sejak 10 tahun terakhir melalui MPM (Majelis Pemberdayaan Masyarakat)
Muhammadiyah mulai menggarap ranah pertanian, peternakan, dan perikanan. Di
bawah pimpinan alm. DR (HC) Said Tuhulele (wafat 9 Juni 2015), MPM semakin
berkibar dan siapa tahu akan menjadi atus utama ketiga dalam Muhammadiyah dalam
beberapa tahun yang akan datang setelah pendidikan dan kesehatan.
Rekam
jejak Muhammadiyah untuk menegakkan dan melaksanakan amar makruf dalam bentuk
membantu negara di ranah pendidikan dan pelayanan sosial-kemanusiaan sudah
sangat teruji. Dari hari ke hari perkembangannya semakin dinamis dan ekspansif
dengan segala rintangan yang dijumpai dalam kerja di atas. Di ranah ini,
Muhammadiyah tidak punya tandingan mitranya di seluruh dunia Islam. Sebagai
pembantu negara, Muhammadiyah sangat setia menjalankan tugasnya, sekalipun negara
kadang-kadang tidak menghargainya. Tetapi bagaimana dengan konsep nahi mungkar,
sebagaimana yang dicantumkan dalam AD 1985 itu? Sebenarnya istilah amar makruf
nahi mungkar itu adalah terminologi al-Qur’an yang sudah tersiar di kalangan
Muhammadiyah sejak periode awal. Hanya saja, baru dimasukkan ke dalam AD tahun
1985 itu.
Adapun
sumber yang digunakan untuk konsep amar makruf dan nahi mungkar itu adalah ayat
104 surat Âli ‘Imrân (3) yang dikaitkan dengan pembentukan organisasi/komunitas
(umma). Adapun ayat 41 surat al-Ḥajj (22) yang berhubungan dengan kekuasaan,
sepengetahuan saya, tidak dijadikan rujukan. Bunyinya: “Alladzîna in
makkannâhum fî ‘l-ardh aqâmû al-shalât wa âtawu ‘l-zakât wa amarû bi ‘l-ma’rûf
wa nahaw ‘ani ‘l-munkar wa lillâhi ‘âqibatu ‘l-umûr/Mereka manakami beri posisi
yang kuat dan berpengaruh di muka bumi, mereka mendirikan salat, membayarkan
zakat, memerintahkan yang makruf dan mencegah yang mungkar. Dan semua muara
urusan adalah milik Allah.”
Posisi
kuat dan berpengaruh adalah posisi penentu, bukan posisi pembantu, sebagaimana
yang telah diperankan Muhammadiyah selama lebih satu abad. Dari kata kerja makuna
yang bermakna kuat dan berpengaruh, maka kata kerja bentuk kedua makkana
menjadi makkannâhum (Kami telah beri mereka posisi yang kuat dan
berpengaruh) bisa saja dalam bentuk kekuasaan negara yang memang punya hak
memerintah dan melarang.
Dalam
kaitan ini, apa yang telah dilakukan Muhammadiyah barulah sebatas dalam posisi
moral-sosial, bukan posisi kekuasaan untuk mencegah kemungkaran. Di ranah
kemungkaran ini, jangankan Muhammadiyah, negara Indonesia sendiri pun
kadang-kadang seperti tidak berdaya, lantaran perkasanya kekuatan hitam itu.
Dalam
posisi sebagai pembantu, apakah Muhammadiyah yakin akan berhasil mencapai
tujuan yang dicantumkan dalam AD-nya? Pengalaman lebih satu abad memberikan
jawaban negatif. Sebenarnya kemerdekaan bangsa dan pengalaman panjang memberi
peluang besar kepada Muhammadiyah untuk mengubah statusnya tidak hanya sekadar pembantu,
tetapi juga sekaligus sebagai penentu. Memang sudah ada berbagai upaya ke arah
itu, tetapi belum pernah efektif, karena memang Muhammadiyah sejak awal tidak
dirancang untuk mengurus negara. Apakah situasi semacam ini mau diteruskan pada
abad kedua sejarah keberadaan Muhammadiyah? Apakah wawasan kebangsaan
Muhammadiyah tidak perlu lebih dipertajam berhadapan dengan zaman yang selalu
berubah?
Pertanyaan ini memerlukan pemikiran mendalam untuk menjawabnya, karena memang sangat tidak sederhana. Tetapi tuan dan puan jangan salah tangkap, pemikiran ini untuk jangka panjang, sama sekali terbebas dari sisi pragmatisme politik. Muhammadiyah pernah turut mendirikan partai politik, bahkan pernah menjadi orsolpol (organisasi sosial politik), tetapi semua pengalaman itu berharga, dan bahkan juga pahit. Oleh sebab itu saya termasuk orang yang menentang keras jika ada fikiran agar Muhammadiyah mengubah dirinya menjadi parpol. Jika itu berlaku, maka bisa dibayangkan misi besarnya di ranah sosial kemanusiaan akan berantakan. Politik bisa menjadi racun yang mematikan di tangan mereka yang lemah iman dan lemah ekonomi.
Lalu bagaimana? Harus diingat bahwa posisi sebagai pembantu tetaplah pembantu, sebagaimana disinggung di atas, bukan penentu bagi perjalanan bangsa dan negara, khususnya bila berhadapan dengan masalah kemungkaran, Muhammadiyah tak berdaya. Tercakup dalam ranah kemungkaran ini adalah segala macam jenis korupsi, pengrusakan lingkungan, mafia migas, mafia imigrasi, pencurian ikan, mafia pajak, mengakali APBN/APBD/BUNM/BUMD, dan segala macam perbuatan busuk dan najis yang merusak sendi-sendi moral bangsa dan memiskinkan rakyat banyak. Sampai batas yang jauh, Muhammadiyah hanyalah sebagai penonton belaka bersama yang lain, tidak punya kekuatan apa pun untuk melawannya.
Pertanyaan ini memerlukan pemikiran mendalam untuk menjawabnya, karena memang sangat tidak sederhana. Tetapi tuan dan puan jangan salah tangkap, pemikiran ini untuk jangka panjang, sama sekali terbebas dari sisi pragmatisme politik. Muhammadiyah pernah turut mendirikan partai politik, bahkan pernah menjadi orsolpol (organisasi sosial politik), tetapi semua pengalaman itu berharga, dan bahkan juga pahit. Oleh sebab itu saya termasuk orang yang menentang keras jika ada fikiran agar Muhammadiyah mengubah dirinya menjadi parpol. Jika itu berlaku, maka bisa dibayangkan misi besarnya di ranah sosial kemanusiaan akan berantakan. Politik bisa menjadi racun yang mematikan di tangan mereka yang lemah iman dan lemah ekonomi.
Lalu bagaimana? Harus diingat bahwa posisi sebagai pembantu tetaplah pembantu, sebagaimana disinggung di atas, bukan penentu bagi perjalanan bangsa dan negara, khususnya bila berhadapan dengan masalah kemungkaran, Muhammadiyah tak berdaya. Tercakup dalam ranah kemungkaran ini adalah segala macam jenis korupsi, pengrusakan lingkungan, mafia migas, mafia imigrasi, pencurian ikan, mafia pajak, mengakali APBN/APBD/BUNM/BUMD, dan segala macam perbuatan busuk dan najis yang merusak sendi-sendi moral bangsa dan memiskinkan rakyat banyak. Sampai batas yang jauh, Muhammadiyah hanyalah sebagai penonton belaka bersama yang lain, tidak punya kekuatan apa pun untuk melawannya.
Sebuah
gerakan Islam yang bertekad memerintahkan yang makruf dan mencegah segala yang
mungkar dalam posisi sebagai pembantu adalah mustahil untuk dapat berbuat
banyak bagi kepentingan bangsa dan negara.
Jika
logika ini benar, maka perlu dikaji ulang secara tenang, tetapi kritikal,
tentang hubungan Muhammadiyah dengan negara. Jika peran Muhammadiyah tetap
sebatas yang telah dikerjakan sekian lama, maka yang akan berlaku adalah:
manakalah bangsa dan negara ini tersungkur sebagai negara gagal misalnya,
Muhammadiyah pun pasti tersungkur. Status sebagai pembantu tidak punya pilihan
lain, kecuali mengikuti nasib buruk pihak yang dibantu. Sekiranya nasib malang
itu benar-benar terjadi (semoga kita terhindar), maka semua jaringan amal-usaha
Muhammadiyah akan rontok satu persatu. Dan bayangan untuk sebuah masyarakat
Islam yang sebenar-benarnya akan tetaplah tinggal sebagai bayangan untuk
kemudian tenggelam bersama Indonesia ditelan oleh kekejaman zaman, karena
ketidakpiawaian kita menyusun strategi bagi kelangsungan hidup berbangsa dan
bernegara secara strategis melalui kajian yang mendalam.
Karena bukan sebagai parpol, Muhammadiyah terkesan gamang bila berurusan dengan politik, tetapi akan kecewa jika kader-kadernya tidak diperhitungkan orang dalam urusan kenegaraan. Situasi semacam ini tidaklah terlalu mengejutkan, karena seperti telah dikatakan bahwa Muhammadiyah memang tidak dirancang untuk mengurus politik kenegaraan.
Karena bukan sebagai parpol, Muhammadiyah terkesan gamang bila berurusan dengan politik, tetapi akan kecewa jika kader-kadernya tidak diperhitungkan orang dalam urusan kenegaraan. Situasi semacam ini tidaklah terlalu mengejutkan, karena seperti telah dikatakan bahwa Muhammadiyah memang tidak dirancang untuk mengurus politik kenegaraan.
Maka
jangan heran, bila kader-kader Muhammadiyah kurang percaya diri untuk masuk ke
arena pertarungan dan persaingan yang tidak jarang menghalalkan semua cara di
tengah-tengah kemungkaran yang semakin masif.
Menghadapi
semuanya ini, perlu dicari terobosan baru yang penuh perhitungan untuk
merumuskan hubungan Muhammadiyah dengan negara, demi mencapai posisi simbiotik
(saling menguntungkan) antara keduanya.
Dengan modal PTM (Perguruan Tinggi
Muhammadiyah) yang ada sekarang ini, terobosan politik itu menjadi mungkin.
Syaratnya, harus ada gagasan dan rancangan besar bersama yang jelas ke arah itu
sebagai ijtihad kolektif warga Muhammadiyah dalam upaya melangkah ke depan,
demi terwujudnya sebuah negara yang berkeadilan. Indonesia tidak boleh terus
dirusak dan dipecundangi oleh anak-anaknya sendiri yang lupa daratan, lupa
lautan. Sebagai gerakan Islam dan dakwah amar makruf nahi mungkar, Muhammadiyah
harus turut bertanggung jawab untuk kemajuan dan keselamatan masa depan bangsa
dan negara ini.
Di muka sudah dijelaskan bahwa dalam
perjalanan sejarah yang panjang, dinamis, dan ekspansif, tanpa asas atau dengan
asas Islam, Muhammadiyah tetaplah diakui sebagai sebuah gerakan Islam dengan
kepribadian khasnya yang tidak pernah berubah. Dalam hubungannnya dengan
negara, posisi sebagai pembantu tidak perlu ditinggalkan, tetapi harus dicari
pintu aman agar Muhammadiyah juga tampil sebagai kekuatan penentu dalam
merumuskan kebijakan negara untuk kepentingan publik, demi keadilan yang merata.
Tidak lama sesudah proklamasi
kemerdekaan, Muhammadiyah bersama NU dan lain-lain organisasi Islam,
memprakarsai berdirinya partai Masyumi di Madrasah Mu’allimin Yogyakarta pada 7
Agustus Nopember 1945, tetapi setelah terbentuk tidak menjadi penentu dalam
partai itu. Cukup baginya mengambil posisi sebagai anggota istimewa sampai saat
partai itu dilarang akhir tahun 1960 oleh presiden. Dengan demikian
Muhammadiyah memang tidak pernah berpengalaman mengurus partai, sekalipun
sebagai pendiri tetap setia mengawal Masyumi sampai bubar dengan segala
kegetiran yang menyertainya.
Sebagai kekuatan sipil dengan PTM
sebagai gudang calon negarawan potensial, saya berpendapat agar Muhammadiyah
lebih baik berfikir strategis jangka panjang bagi kepentingan bangsa dan negara
Indonesia. Jalan yang mungkin ditempuh adalah agar beberapa PTM unggulan
mengambil inisiatif bersama-sama untuk menyiapkan para negarawan pada semua
bidang untuk dilatih dan diarahkan untuk pada saatnya dengan segala modal
kepakarannya agar turut menjadi penentu bagi perjalanan bangsa dan negara.
Dengan kata lain, Muhammadiyah harus berada dalam posisi sangat siap untuk memberikan
kader-kader terbaiknya kepada negara, apakah itu dalam bidang ekonomi,
pertanian, pertahanan, politik, pendidikan, kesehatan, kelautan, sosial, dalam
negeri, luar negeri, dan segala bidang apa pun yang diperlukan negara.
Dalam pantauan saya sejauh ini,
dengan segala jasanya yang luar biasa dalam membantu negara, Muhammadiyah masih
sangat kesulitan menawarkan pakar mumpuni yang dimilikinya kepada negara saat
diperlukan. Maksud saya, kader-kader itu haruslah memenuhi semua kualifikasi
dengan standar yang sangat tinggi, sehingga negara tidak punya pilihan lain,
kecuali meminta kepada Muhammadiyah agar para kader itu disumbangkan. Gagasan
ini memang idealistik, tetapi bila demokrasi sudah berjalan normal, maka aspek
meritokratik pasti akan dipertimbangkan untuk kepentingan negara.
Bukan saja negara, partai politik
pun yang punya wawasan kenegaraan tentu akan memerlukan kader-kader
Muhammadiyah yang mumpuni itu. Para kader ini mesti dikenal secara luas sebagai
negarawan moralis, berwawasan keindonesiaan yang jelas, toleran, tetapi pakar
di bidang tertentu. Jika semua syarat ini terpenuhi, maka antara Muhammadiyah
dan negara akan berada pada sebuah keserasian yang elok karena saling
mendukung. Dengan posisi ini, siapa tahu, Muhammadiyah akan dapat ikut serta
menolong bangsa dan negara dalam upaya menghalau semua kemungkaran yang
membelit batang tubuh Indonesia sampai ke batas yang jauh dan semua perbuatan
yang makruf akan semakin menjadi arus utama di negeri tercinta ini.
Muhammadiyah harus mengajak semua mereka yang punya potensi sebagai negarawan
dari golongan mana pun untuk bersama-sama memperbaiki dan memajukan bangsa dan
negara ini. Anak bangsa yang kadar kebangsaannya sudah menipis semoga cepat
sadar akan kekeliruannya.
Sebagai
penutup, saya kutipkan pesan Bung Karno kepada Muhammadiyah puluhan tahun yang
silam: “…Dengan sedikit bicara banyak bekerja, Muhammadiyah telah memodernisasi
cara mengembangkan Islam, sehingga di seluruh Tanahair Indonesia, mulai Sabang
sampai Merauke telah berdiri Cabang-cabang dan Ranting-rantingnya. Selaku
seorang yang pernah berkecimpung dalam lingkungan Muhammadiyah, saya ingin
berpesan kepada Saudara-saudara, supaya selalu berpegang teguh kepada motto: ‘Banyak bekerja!’… Inilah
sebabnya: Muhammadiyah berkumandang dan menjadi besar.” (Lih. Departemen
Penerangan, Makin Lama Makin Cinta: Muhammadiyah Setengah Abad, 1912-1962.
Jakarta: 1963, hlm. 204. Ejaan disesuaikan dengan kaedah yang berlaku).
Semestinya, “Muhammadiyah berkumandang dan menjadi besar,” tidak hanya sekadar
pembantu, tetapi sekaligus menjadi penentu bagi hari depan Indonesia di semua
ranah. Eman-eman bangsa besar ini sering dijadikan permainan oleh mereka yang
serbatuna. Semoga!
Komentar
Posting Komentar