oleh Andar Nubowo
Sarkozy menegaskan perlunya kaum Muslim dan kelompok agama manapun yang
datang belakangan di Perancis untuk menghormati nilai-nilai dasar
Republik Perancis, yaitu kesetaraan manusia, hak-hak wanita, sekularisme
(laïcité), dan pemisahan antara yang profan dan spiritual. Sarkozy juga
menegaskan perlunya kelompok dan komunitas yang beragam untuk berbaur
(metissage) satu sama lain. Bagi Sarkozy, Perancis adalah sebuah negara
dan Republik yang berbeda dengan kecenderungan komunitarianisme.
Komunitas nasional yang ia inginkan adalah Republik yang berbaur
(Republique métissée) yang majemuk.Di tengah guyuran salju, Tramway 1 jurusan St Denis-Noisy Le Sec menapaki jalan besi yang dingin dan kaku. Pagi itu, bangku di dalam kereta tak semuanya penuh. Jarum jam yang masih di angka 07.45 lebih membuat orang memilih untuk menghangatkan diri di rumah. Di bangku belakang, duduk seorang wanita dengan dua anak yang masih balita. Wanita itu berbalut burka, jenis pakaian berwarna gelap yang menutupi seluruh badan kecuali kedua matanya. Anak laki-lakinya yang baru berusia kira-kira 2 tahun merengek-rengek minta susu botol dari dalam kereta dorong. Anak perempuannya yang berusia 4 tahunan memainkan ujung jilbab yang menutupi kepalanya. Dari raut muka dan kulit wajahnya, terlihat jenis ras mereka yang Kaukasoid, bule.
Tramway terus menerobos suhu minus tujuh derajat selsius. Di halte La Courneuve, masuk dua wanita berburka yang berkulit hitam dan putih. Itu terlihat dari kulit mata yang luput dari balutan burka. Keduanya langsung menyapa si ibu dan dua anaknya. Mereka saling menguluk salam lalu bercakap dalam bahasa Perancis. Di halte terakhir St Denis, semua penumpang turun. Ketiga rombongan wanita berburka tersebut bergegas menuju pasar kaki lima di bilangan Gereja Basilique St. Denis di mana terdapat persemayaman terakhir raja-raja Perancis yang Katolik. Ketiganya melebur dan berjejal dengan ribuan orang yang memadati pasar tradisional sekaligus internasional tersebut.
Pasar kaki lima yang dikenal dengan nama “Marché du Monde” (Pasar Dunia) itu adalah pasar murah segala ada yang menjadi favorit para imigran dan mahasiswa dari berbagai belahan dunia. Dagangan yang dijajakan berasal dari produk-produk dunia ketiga, termasuk Indonesia. Dengan harga sangat murah, kualitas barangnya tidaklah terlalu parah. Di pasar ini, terlihat orang beragam ras dan warna kulit berjejal melakukan transaksi jual beli di tengah hawa salju yang ekstrem. Suasananya persis pasar-pasar tradisional di Indonesia. Para imigran Arab, Afrika Utara, Afrika Barat, dan Eropa Timur yang mayoritas muslim tampak dominan. Ada para wanita berjilab, juga para pria berkopiah dan gamis khas Arab. Sebuah fenomena mengesankan yang terjadi di jantung sekularisme Perancis.
Perancis yang sekuler kini memang tengah menghadapi tantangan gelombang imigran yang berasal dari bekas koloninya yang berpaham Islam seperti Aljazair, Maroko, Tunisia, Senegal, Kepulauan Komorro, Mali, dan lain sebagainya. Tak pelak, simbol-simbol Islam (masjid, jilbab, burka, halal food, gamis, jenggot Islami) kini kentara di ruang-ruang publik Perancis. Tak sedikit pula warga pribumi yang memeluk Islam lantaran kawin campur ataupun telaah ilmiah. Menguatnya Islam beserta simbolnya di Perancis dan Eropa membuat barisan politik konservatif kanan dan ultra-kanan mulai bereaksi. Presiden Perancis Nicolas Sarkozy yang berasal dari partai kanan UMP meluncurkan debat identitas nasional dan menghembuskan pelarangan pemakaian burka di Perancis. Siapa itu orang Perancis? Apakah burka sesuai dengan prinsip-prinsip republikan dan sekular Perancis?
Referendum Rakyat Swiss yang menolak pembangunan menara masjid pada 29 November 2009 juga menyulut pro-kontra di media cetak dan elektronik Perancis mengenai tempat Islam di bumi Napoleon Bonaparte ini. Lembaga poling Ifop-Le Figaro mengungkapkan jajak pendapat bahwa 46% rakyat Perancis setuju pelarangan pembangunan masjid, sekitar 40% menerima, dan 14% lainnya tidak menyatakan pendapat. Jérome Fouquet, wakil direktur Ifop menyatakan, rakyat Perancis terbelah, tetapi hingga kini kemarahan terhadap Islam juga tidak kuat di kalangan rakyat. Secara keseluruhan, rakyat Perancis yang menolak pembangunan masjid baru berjumlah 41%.
Namun prosentase yang setuju (40%) adalah yang paling rendah sejak dua puluh tahun terakhir. Pada tahun 1989, hanya 38% rakyat Perancis yang tidak suka masjid berdiri di dekat rumah mereka. Kemudian pada tahun 2001, setelah serangan 11 September, rakyat Perancis yang menolak tinggal 22%. Sedang 46% lainnya masih tidak memiliki sikap. Lalu pada 2009, kecenderungan anti-Islam menguat dan mewujud dalam penolakan rakyat Perancis terhadap simbol-simbol Islam. Peningkatan islamophobia ini, menurut Fouquet, membuktikan bahwa konsep sekularisme positif (laïcité positif) yang dilontarkan Nicolas Sarkozy hanyalah wacana di permukaan belaka. Bagi para penolak masjid, Islam diidentikkan sebagai agama yang mengkhawatirkan dan identik sebagai agama penakluk. Oleh karena itu, upaya normalisasi Pemerintah Perancis terhadap Islam dan prakteknya agar tidak terjebak di dalam paham-paham radikal yang bertentangan dengan nilai-nilai Republik Perancis tampaknya bertolakbelakang dengan opini masyarakat yang berkembang selama ini.
Presiden Nicolas Sarkozy sendiri (8/12/09) menjelaskan pandangannya tentang Islam dan kaum Muslim di Perancis. Ia menegaskan jaminannya terhadap kebebasan beribadah kaum Muslim dan memperbolehkan konstruksi menara masjid asalkan sesuai dengan kearifan dan kesepakatan lokal. Ia juga menyerukan kaum Muslim untuk tidak berlebihan dalam menjalankan ibadah mereka, tetap rendah hati (humble discretion), karena ibadah yang berlebihan dan menonjolkan simbol (misalnya burka) dapat melukai warisan budaya Kristen Perancis. Terkait burka, Sarkozy menyatakan pakaian tersebut bukanlah ajaran Islam tetapi ajaran yang bertentangan dengan prinsip hak asasi manusia dan merupakan bentuk pengekangan kebebasan terhadap perempuan dari kehidupan sosial dan budaya.
Suami mantan model Carla Bruni ini menegaskan perlunya kaum Muslim dan kelompok agama manapun yang datang belakangan di Perancis untuk menghormati nilai-nilai dasar Republik Perancis, yaitu kesetaraan manusia, hak-hak wanita, sekularisme (laïcité), dan pemisahan antara yang profan dan spiritual. Sarkozy juga menegaskan perlunya kelompok dan komunitas yang beragam untuk berbaur (metissage) satu sama lain. Bagi Sarkozy, Perancis adalah sebuah negara dan Republik yang berbeda dengan kecenderungan komunitarianisme. Komunitas nasional yang ia inginkan adalah Republik yang berbaur (Republique métissée) yang majemuk.
Di lain pihak, kaum Muslim Perancis menolak stigmatisasi terhadap Islam menyusul polemik menara masjid di Swiss. Mereka menganggap Pemerintah telah memanfaatkan referendum Swiss untuk menyatakan pandangan negatifnya tentang Islam dan kaum Muslim Perancis. Hal itu merupakan serangan bagi konsep sekularisme (laïcité) Perancis sendiri. Mereka berpendapat bahwa larangan menara masjid, burka, dan jilbab di sekolah-sekolah negeri hanyalah satu tahap untuk melarang masjid dan stigmatisasi Islam di Perancis dan tanah Eropa lainnya.
Rasyid Cherifi, 30 tahun, Franco-Aljazair, menolak ketakutan pemerintah dan rakyat Perancis terhadap Islam yang dituduh hendak mengubah Republik Perancis. Kekhawatiran tersebut merupakan provokasi dan stigmatisasi terhadap Islam dan kaum Muslim di Perancis. Bagi mereka, pelarangan burka di Perancis hanyalah sasaran antara. Sasaran sesungguhnya adalah Islam. Baginya, pemerintah dan rakyat Perancis seharusnya menghormati kebebasan mereka untuk menjalankan keyakinan mereka.
Presiden Dewan Ibadan Muslim Perancis (CFCM) Mohammed Moussaoui menyerukan kaum Muslim Perancis untuk tetap tenang dan tidak terpancing provokasi pihak-pihak yang sinis terhadap Islam dan kaum Muslim. Baginya, reaksi atau sikap berlebihan yang ditunjukkan kaum Muslim tidaklah menguntungkan bagi kaum Muslim sendiri. Dalam situasi sekarang ini, ia mengimbau kaum Muslim untuk tidak menampilkan simbol-simbol Islam secara berlebihan guna menghindari stigmatisasi. Tetapi kaum Muslim juga tidak boleh tinggal diam terhadap setiap upaya yang berniat mengucilkan dan memasung kaum Muslim secara total. Hal yang paling tepat dilakukan adalah mencari kompromi dan memanfaatkan debat identitas nasional yang kini tengah digelar sebagai peluang untuk menyatakan kembali prinsip kesetaraan beribadah kepada para pemimpin politik Perancis.
Senada dengan Moussaoui, Imam Masjid Evry di pinggiran Paris Mohammed Merroun juga menyerukan umat Islam untuk menunjukkan citra positif Islam kepada masyarakat Perancis. Ia juga khawatir terhadap stigmatisasi Islam dan kaum Muslim Perancis yang belakangan meningkat karena dapat menyebabkan kaum Muslim terkucil secara sosial, ekonomi, dan politik. Jika isolasi ini terjadi, menurutnya, maka kaum Muslim tidak dapat berpartisipasi selaku warga negara dalam pembangunan Perancis. Kaum Muslim tidak dapat membangun kehidupan, mendidik anak dan mengembangkan usaha mereka.
Bagi saya, berislam secara rendah hati (tawâdhu’ ) dan berintegrasi dengan masyarakat setempat, sepanjang tidak bertentangan dengan nilai-nilai keagamaan, adalah sebuah sikap ideal. Penonjolan simbol keagamaan yang dapat mengganggu komunitas lain, sebenarnya justru kurang sesuai dengan nilai dasar Islam yang toleran, moderat, dan terbuka. Melalui cara beragama yang santun dan ramah, nilai-nilai Islam yang sejati bakal dikenal dan dipahami secara baik oleh masyarakat sekuler Perancis. Bukankah sejarah selalu mengajarkan kepada umat manusia bahwa kesantunan dan kesederhanaan dalam beragamalah yang dapat mengubah alur peradaban dunia?
Andar Nubowo, bermukim dan bekerja di Paris. Pernah berguru kepada Olivier Roy di program master politik Ecole des Hautes Etudes en Sciences Sociales (EHESS) Paris, Perancis.
*Tulisan ini dimuat di http://www.islamlib.com/?site=1&aid=1361&cat=content&cid=11&title=sekularisme-perancis-tengah-diuji
Komentar
Posting Komentar