Sosok itu duduk di kursi kayu. Wajahnya menghadap ke arah sungai berliku. Sebuah meja kecil dipenuhi buku tepat lima senti di depan dagu. Semua jenis buku diatasnya bercampur menjadi satu. Mulai buku gambar, matematika, filsafat bahasa, pergerakan mahasiswa, hingga buku-buku biologi, sosiologi, dan psikologi. Hanya satu buku yang terbuka, berjudul “Memimpin Setengah Dengkul” tergeletak disitu. Sebagai pembatas halaman yang sudah dibaca, ia menandainya dengan sebuah batu. Sesekali, dari arah utara angin menerbangkan debu. Terpaan debu halus layaknya sang ratu yang ingin menemani kesendirian lelaki itu. Semakin lama, debu semakin melapisi tubuhnya, mulai bulu kaki hingga ke siku. Pandangannya terlihat sayu. Sesekali melirik buku dan terkadang pandangannya awas mengamati aliran air di sungai berliku. Mungkin ia sedang memikirkan kenapa air sungai itu tidak berwarna biru. Atau juga ia sedang berpikir kenapa air sungai selalu mengalir syahdu. Ia layaknya Albert Einsten muda ket...