Buku : Kitab Pembebasan
(Tafsir Progresif atas Kisah-kisah dalam al-Qur’an)
Penulis : Eko
Prasetyo
Penerbit : Beranda
Cetakan/tahun : 2 (dua)/2016
Jumlah halaman : 354
ISBN : 978-602-74184-0-0
Peresensi : Sirajuddin Bariqi
Manusia adalah lambang kebebasan, kemerdekaan. Ia mempunyai
kehendak untuk taat atau ingkar, mendekat atau menjauh, berserah diri atau
memberontak. Berbeda halnya dengan malaikat yang selalu taat, dimanapun,
kapanpun, dan dalam kondisi apapun. Juga berbeda dengan iblis, sang pemberontak,
pembangkang, lambang kejahatan.
Al-Qur’an menyebutkan dalam QS. Al-Baqarah: 30, bahwa Allah
hendak menjadikan manusia sebagai khalifah di bumi. Sebuah tugas sekaligus
amanat yang berat. Tetapi manusia menerimanya, amat bodohlah ia. Malaikat
sempat mempertanyakan, namun Allah memberi penegasan bahwa ada suatu
keistimewaan yang dimiliki manusia, yang tak dimiliki oleh makhluq lain.
Allah lantas mengutus beberapa orang dari sekian banyak
manusia yang dihidupkan dan dimatikan dari masa ke masa untuk menjadi pemberi
peringatan dan kabar gembira di muka bumi. Utusan yang akan membimbing dan
menuntun manusia lain menuju jalan keselamatan. Diantara utusan-utusan tersebut
disebutkan dalam al-Qur’an berupa kisah. Dari kisah itu kita bisa menyaksikan
bagaimana para utusan tersebut manjalani kehidupan dengan membawa tanggungjawab
yang teramat besar. Kita bisa menyaksikan bagaimana mereka melawan perbuatan
dzalim. Ketidakadilan, keserakahan, juga kesombongan yang dilawan dengan
ketaatan kepada Tuhan dengan penuh kesabaran dan keyakinan akan adanya
kemenangan.
Dalam buku ini, eko prasetyo melakukan pendekatan yang
sedikit atau samasekali berbeda dengan penulis lain. Kisah-kisah yang terdapat
dalam al-Qur’an tidak hanya disikapi atau dianggap sebagai sebuah dongeng
belaka, atau hanya sekedar kisah masa lalu yang harus diambil pelajaran dari makna
luarnya. Namun dalam buku ini, ia mencoba untuk mencari dan menelusuri makna
terdalam dari teks. Mengungkap sisi
aktivisme dari utusan Tuhan yang disebut dalam al-Qur’an.
Sebagai contoh, kisah Nabi Musa yang melawan kesombongan
Fir’aun. Penguasa mesir kala itu yang menganggap bahwa dirinya adalah tuhan.
Musa yang pada masa kecilnya berada dalam lingkungan kerajaan menaruh simpati
kepada kehidupan bani Israil yang mengalami penyiksaan, penindasan. Ia ingin
membebaskan. Namun kekuatannya saat itu dirasa tak akan mampu menggulingkan kekuasaan
Fir’aun. Sampai suatu saat ia mendapat perintah langsung dari Tuhan untuk
melakukan perlawanan. Sempat ragu, namun Allah meyakinkan. Musa yang kemudian
ditemani Harun kemudian datang melawan, dan berhasil membebaskan bani Israil
dari ketertindasan.
Didalam kemenangan Musa -menurut Sayyid Qutb- tersimpan
mutiara pergerakan, musa bersama pengikutnya ditolong lebih karena keimanannya
yang dinyatakan secara terbuka (hlm. 90). Ini menunjukkan bahwa kemenangan tak
selalu berada dipihak yang berkuasa. Mereka yang tertindas, kemudian mempunyai
semangat untuk mengentaskan ketertindasan tersebut bisa jadi pemenangnya.
Pembahasan dalam buku ini menjadi sangat urgen bagi kalangan
pemuda, terlebih mereka yang berjiwa sosialis. Said Tuhuleley (almarhum), ketua
Majlis Pemberdayaan Masyarakat (MPM) PP Muhammadiyah 2005-2015 dalam Prolog-nya
menyebut bahwa sangatlah tepat ketika buku ini menjelaskan etos perlawanan
terhadap kedzaliman, ketidakadilan, kesewenang-wenangan. Perlawanan –menurutnya-
merupakan salah satu kata kunci penting dalam konteks nahi munkar.
Sedangkan Muhammad al-Fayyadhl, tokoh Nahdlatul ‘Ulama, ia menegaskan dalam
Epilog-nya bahwa mereka yang menjadi utusan Tuhan tidak serta merta mengambil
keuntungan dari keuntungan yang ia punya. Utusan tersebut tidak pernah
membentuk kelas tersendiri yang elitis.
Perlawanan terhadap kedzaliman harus terus dilakukan. Dan
kekuasaan bukanlah alat untuk menguasai kaum tertindas. Mereka yang membaca
buku ini Insya Allah akan sadar akan hal tersebut. Membebaskan dan
menyejahterakan, bukan menguasai dan menindas.
Komentar
Posting Komentar